Ningrum Puspita Elizaberth


Bagi, wanita anggota DPR hamil itu penundaan. Hamil itu nanti dulu. Hamil itu lain kali. Hamil itu“wes..gampang aelah”, tidak sebuah keseharusan. Yang terpenting dari mereka adalah karier kepolitikusannya, bukan hamil dan kemudian ngurus anak. Jauh lebih penting melobi lobi para dedengkot untuk mempertahankan posisi posisi mereka disana. Untung untung naik tahta.
Di gedung itu. Tak ubahnya cawan kosong yang mondar mandir tak jelas maksud melewati berbagai laut, samudra, selat, palung kemudian singgah sebentar di suatu Negara. Dan jika ditarik garis lurus tepat pada ujung ujung cawan cawan itu bertuliskan kata yang biasa mereka ujar kan, Kunker -kunjungan kerja- begitu yang biasa mereka katakan. 
Bagi Polwan, hamil itu masa masa cuti. Masa masa paling tenang namun menyakitkan. Masa masa kejayaan tapi lemah. Sama halnya 
dengan guru atau pun pegawai negeri sipil. Hamil itu dijadwalkan waktu dan jumlahnya. Bagi para pengusaha, hamil itu tak ada masalah, “ukey..ukey aj!!”. Bagi para seniman hamil itu anugerah, karya seni nan tak terperi. Kebahagiaan yang tak terungkapkan.
Bagi seorang kiai hamil itu rezeki. Hamil itu “Alhamdulillah”. Hamil itu harus terus menerus. Makin banyak anak makin banyak rezeki. Umpama pohon, hamil itu pohon durian. Semakin banyak buah semakin banyak penghasilan. Tak ada ketentuan berapa jumlah dan kapan waktunya. Bagi para petani hamil itu kapan panen. Bagi tetanggaku hamil itu “ogah ah..satu aj minta ampun sakitnya, apalagi jaman kayak sekarang,,udah sakit,,pasti mahal”.
Dan bagi kakak perempuanku hamil itu menangis. Menangis karena biaya persalinan belum juga tercukupi. Andai masih ada dukun beranak yang ilmunya turun temurun dari ibunya, karena ibunya pun dapat ilmu dari ibunya dan Ibunya juga dapat ilmu dari ibunya lagi, begitu seterusnya hingga cicit sampai nenek biyung moyangnya mungkin biaya persalinan tak setinggi sekarang sekarang ini. Kini dukun beranak sudah khatam profesinya, pensiun dini, berganti profesi jadi juru masak di hajatan sanak saudara ataupun tetangga terdekatnya.
Semalaman aku tak bisa tidur kawan. Itu semua hanya karena kakak perempuanku yang tengah hamil tua kini sampai pada waktu persalinan. Ah,,sungguh tak tega aku memandang raut wajah kakak perempuanku ini. Mondar mandir bak gerobak dorong pengepul pasir, sambil memegangi perut buncitnya menunggu sang suami bersiap mengantar ke bidan terdekat.
Setelah keberangkatan kakakku tadi Tengah malam ku dapati mataku memicing. Kelopak mataku tak berani gaduh lagi tak seperti yang ku rasakan tadi. Penglihatanku gelap, petang 12 malam tak ada purnama. Dan gelap pun melawat namun tak berapa lama terang kembali berbinar. Kini hanya tinggal aku dan ningrum, istri tercintaku dunia akhirat.
Seperti halnya kakak perempuanku tadi kawan, ningrum pun tengah hamil tua. kebahagian nan tak peri memuncak. Seolah rumah mungil ini berselimut madu. Keluarga terdekat kami, tetangga tetangga kami tersenyum dan selalu mendo’akan kami agar persalinan ningrum pun lancar, tak ada aral apapun.
Seberangkatnya kakakku  ke persalinan. Kini ningrum pun merasakan hal yang sama. Alang kepalang aku bergegas mengantarkan istri tercintaku ke bidan terdekat. Tak jauh dari rumah kecil bahagia dunia akhirat kami.  Aku tetap setia menunggu ningrum yang sedang melahirkan  anak pertama kami, dan aku disampingnya. Digenggamnya erat tanganku. Semua bayangku hanya tertuju satu nama, satu tujuan, hanya ningrum kawan..hanya ningrum kali ini.
Dikoridor rumah sakit itu aku berdiri gelisah. Tak karuan rasa. Sabur segala risau, melayang melambung ke atas dan ke atas terbentur plafond, langit langit rumah sakit. Aku bergegas mengikuti perempuan terkasihku yang ditidurkan ia di dipan beroda. Perempuan itu adalah istri terkasihku kawan. Aku biasa memanggil ia el. Gadis yang aku taksir semasa mudaku. Dan kini aku sekamar menunggunya babaran.Betapa menankjubkannya dunia ini. Sungguh aku percaya siapa yang menanam benih kebaikan, yakinlah kelak saat masa panen tiba buah kebaikan dan kebahagian pasti tiba. Itu Janji Tuhan kepada kita. aku percaya itu dan Aku sangat amat bersyukur atas segala nikmat ini.
Keringat ningrum berkucuran kemanapun gelagat geraknya. Mengikuti kulit kulit yang mereka tumpangi. Dokter pun bersiap. Ditidurkan ningrum dengan nyaman seperti halnya ibu ibu yang akan melahirkan. Dan mulai detik itulah kawan, aku tak tega melihat ningrum, istri tercintaku, dunia akhiratku mengalami hal semacam ini. Peristiwa yang harusnya semua suami harus berfikir 2 kali jika harus menyiksa sang isrti.
Ningrum pesakitan. Tak jarang ia menarik nafas panjang. Dan kemudian tersengol sengol lagi. Ditariknya nafas. Tersengol sengol lagi. Saat itu pula aku tak lagi mampu berbuat apapun. Kecuali berdiri tegar disampingnya. Tak beranjak pun sejengkal dan selalu berdo’a. Tak sampai hati aku meninggalkan istri tercintaku, sahabat begitu juga istri dunia akhiratku.
Aku genggam tangannya, Ia membalas lebih dari kuat genggamanku. Tanganku digenggamnya lebih, bak mencengkram. Gelisahku tak karuan kemana. Berkeliaran selaras disetitik keringat yang tak jauh beda dengan keringat keringat ningrum. Sekujur tubuhku gemetar. Antara takut dan tak tega.
Ningrum makin menggenggam erat tanganku. Digenggamnya erat, erat seerat eratnya. Sekuat genggaman boyguard yang kini berlipat 1,5 kuadrat. Ningrum kembali mengeram, menjerit, sembari menatapku penuh tatapan.

“Jangan tinggalkan aku,,mas” begitu aku membaca tatapannya.

Terus dan terus ia mengeram pesakitan, menjerit kemudian tersengol sengol nafasnya. Aku menyuruh ningrum kembali menarik nafas dalam dalam agar ia lebih kuat. Kembali ia menjerit kemudian tersengol sengol lagi.
Tak tega,,kawan!! tak sampai hati aku melihat ini semua. aku dapati Ningrum, tambatan hatiku sampai begini keadaannya. Serasa setelah ini aku berjanji tak kan pernah, takkan pernah mengecewakan Ningrum begitu pula Ibuku tercinta yang telah melahirkanku.

“Allah Ya Robb berilah kekuatan untuk istri hambaMU ini,,”

Aku berbisik “..aku mencintaimu el,,selamanya,,takkan pernah ku lepaskan genggaman ini, tak kan pernah aku biarkan genggaman ini direbut siapapun, sampai kapapun dan dengan alasan apapun.,bukankah kita punya janji el kita akan ke surga bersama. Bersama keluarga kita. Kuatlah el..aku selallu disampingmu”.

Ketubannya pecah ningrum menjerit jauh lebih keras dari sebelumnya. Genggaman tangan kami tak terlepaskan, karena aku pun menggenggamnya erat. Tiada waktu yang akan berhenti walau sedetikpun. sebersit itu pula terdengarlah tangis bayi. laki laki juru pendamai keluarga kami. Ku cium kening ningrum yang penuh keringat. Disaat itu pula ku ucap syukur “Terima kasih Ya Robb atas segalanya. denganMU kami pasti baik baik saja”.
Aku gendong bayi mungil itu. Mendekati ningrum yang sebersit waktu tengah berjuang mati matian melahirkan anak pertama kami. Bayi nan lucu itu pun menangis, Aku dan ningrum pun tersenyum simpul. Dan mulai saat itulah lembar baru telah tercipta. “Allah beserta langitnya menyaksikan itu”.
Namun seribu kegundahan, tangis bayi juga kunjung reda. Semakin lekat, waktu bertambah semakin keras. Dan kembali lebih keras. Kini lebih dekat. Mendekat ketelingaku, lebih dekat dan sangat dekat. Sungguh aku tak tahan lagi. Tanpa sigap mataku pun terbuka. Tubuhku terperangah dan kemudian terbangun dari mimpi menyambut pagi. Ku dapati bayi mungil disampingku, Fazril Affinza Al Baihaqi begitu kata Ibuku mengenalkannya padaku. Ia adalah Putra kedua kakak perempuanku, keponakanku kawan. yang baru saja lahir tengah malam kemaren.
Aih..semalam aku bermimpi dengan ningrum,,!!! Mimpi yang tak mampu aku pahami. Tuhan mungkin ENGKAU semata hanya memberikan hambamu ini mimpi yang menakjubkan tanpa arti. Sungguh aku tak pernah berfikir sebagaimana itu. Akan ENGKAU berikan cerita apalagi setelah ini, Hamba pasrah atas kuasaMU.

Direkrut Oleh Tiga Juli (Mas KOt)

1 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites